Rabu, 16 Desember 2015
Selasa, 15 Desember 2015
Kumpulan Makalah Power Point Ulumul Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
masa awal mula Islam dikenal, banyak umat Islam yang belum mengenal keberadaan
Ulumul Hadits atau yang biasa yang biasa kita sebut dengan ilmu hadits.
Sehingga pandangan kita terhadap hadits tidak terlalu mendalam seperti
zaman-zaman berikutnya. Lalu banyak hadits-hadits palsu bermunculan dan pada
akhirnya kepekaan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu hadits mulai
meningkat.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an, hadits nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian
islam.
Seperti yang kita
ketahui ada beberapa macam hadits yang ada menurut keberadaanya atau biasa kita
sebut dengan kualitas dari hadits itu sendiri yang sesuai dengan fungsinya
dalam menenetapkan atau penetapan syariat Islam. Seperti Hadits Shahih, Hadits
Hasan, Hadits Dha’if. Setiap macam hadits tersebut memiliki perbedaan
persyaratan dan lain lain.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apa
pengertian Ulumul hadits atau Ilmu hadits?
1.2.2 Apa cabang-cabang Ilmu hadits?
1.2.3 Bagaimana sejarah perkembangan ulumul
hadits?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1.3.1 Menjelaskan pengertian
Ulumul Hadits atau Ilmu Hadits.
1.3.2 Menguraikan dan menjelaskan macam-macam
cabang dari Ulumul Hadits.
1.3.3 Mendiskripsikan sejarah perkembangan Ulumul
Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ilmu hadits atau Ulumul hadits
Ilmu hadits adalah ilmu yang
mengandung pembicaraan tentang pengutipan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw, perbuatan-perbuatan
beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara
detail dan dapat dipertanggungjawabkan[1].
Hadits adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(persetujuan), atau sifat [2].
Sedangkan menurut ahli
ushul fiqih, hadits adalah
perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap
sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang
menjadi setelah kenabian[3].
Kata “al hadits” dapat
juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata “as sunnah”.
Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan
untuk perbuatan (‘amal) dari
Nabi SAW saja [4].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain
adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi (peperangan Nabi –Edt, dan Hadits. Buku-buku hadits adalah
lebih khusu berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut
terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan
amal dan syariat [5]
2.1.2 Pengertian
Sanad
Sanad dari segi bahasa berarti مَاارتفع من الارض
,yaitu
bagian bumi yang menonjol, sesuatu yang berada di hadapan Anda dan yang jauh
dari kaki bukit ketika anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalahأ سنا د. Segala sesuatu yang anda
sandarkan kepada yang lain disebutمسند. Dikatakan أ سند فى ا لخبل,maknanya `Sesorang mendaki
gunung`. Dikatakan pula ن سند فلا , maknanya `Seseorang
menjadi tumpuan`.[6]
2.1.3 Matan Hadits
Secara
etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, pungung
jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Adapun yang dimaksud matan dalam
ilmu hadist adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad.
Yang dimaksud dengan
Matnu`l Hadist ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di cover oleh
sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah S.A.W. sahahabat
ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Misalnya perkataan sahabat
Anas bin Malik r.a.:
“Kami bersembahyang bersama-sama Rosulullah
S.A.W. pada waktu udara sangat panas. Apabila salah seorang dari kami tak
sanggup menekankan dahinya diatas tanah, maka ia bentangkan pakaiannya, lantas
sujud diatasnya.”
Perkataan Sahabat yang
menjelaskan perbuatan salahseorang sahabat yang tidak disanggah Nabi كنا-
فسجد علي disebut Matan hadits.[7]
2.1.4 Isnad,
Musnid, Musnad
Isnad
menurut bahasa, menyandarkan. Menurut istilah ialah menerangkan sanad Hadis
(jalan menerima hadis). Sedangkan orang yang menerangkan hadis dengan menyebut
sanad-nya, dinamai musnid. Dan hadis yang disebut dengan diterangkan sanadnya
yang sampai kepada Nabi S.A.W. dinamai musnad.[8]
2.1.5 Pengertian
Khabar dan Atsar
Atsar segala yang disandarkan kepada Rasulullah,
sahabat, tabiin. Hanya saja para fuqaha Khurasan menyebut hadis mauquf adalah
atsar, marfu’ adalah khabar.
Untuk lebih jelasnya Manna’ Qattan menjelaskan bahwa
khabar secara etimologi berarti cerita, sedangkan secara terminologi ada tiga
pendapat. Pertama. khabar sinonim hadis maknanya sama dengan hadis. Kedua.
Khabar berbeda dengan hadis, hadis adalah datang dari Nabi, sedangkan khabar
berasal dari sahabat dan Tabiin. Ketiga. Khabar itu lebih luas daripada hadis.
Atsar secara
etimologi berarti sesuatu yang tersisa, sedangkan secara terminologi mempunyai
dua pendapat. Pertama. Atsar sinonim dengan hadis. Kedua. berbeda dengan arti
hadis, atsar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Saw, sahabat dan
Tabiin.
2.1.6 Pengertian
Hadits
Menurut M. M Azami kata hadis secara literal
memiliki beberapa makna, antara lain, communication, story, conversation :
religious or secular, historical or recent.
Dalam al-Qur’an kata hadis digunakan sebanyak 23 kali dengan aneka ragam
kata. Sedangkan menurut Manna’ Qattan arti hadis secara etimologis
berarti al-jadid (baru).
الحديث فى اللغة : الجديد. وا لحد يث كذلك : ما يتحدث به
وينقل . والجمع : أحاديث
(Hadis menurut bahasa berarti baru. Makna
hadis juga berarti sesuatu yang dipakai berbicara dan yang diriwayatkan. Kata
hadis jama’nya adalah ahadis.)
Hadis menurut para ahli hadis (muhaddisin)
secara terminologis makna hadis adalah.
ما أثر عن النبى من قول أو فعل أو تقرير
أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة . سوأ أكان قبل البعثة أو بعدها.
(Segala yang berasal dari Nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat penciptaan manusia atau
etika atau sirah, baik sebelum diutus maupun setelah diutus).[9]
2.1.7 Pengertian Hafidz
Menurut banyak pakar hadîts,
al-hâfidz artinya sama dengan muhaddits. Ada yang berpendapat bahwa al-hâfidz
martabatnya lebih tinggi dari al-Muhaddits, karena ia lebih banyak mengetahui
dari pada ketidak tahuannnya terhadap setiap tingkatan (thabaqât) para perawi
Hadits.
Menurut
sebagian pendapat, al-hâfidz harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000
hadîts.[10] Muadditsin yang mendapat gelar ini
antara lain Al-Iraqi, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Ibnu Hajar Al-Asgalani, dan
lain-lain.
2.1.8 Hakim
Menurut
sebagian ahli ilmu hadîts, al-hâkim berarti orang yang pengetahuannya mencakup
seluruh hadîts, hanya sedikit saja yang tidak diketahuinya[11].
Muhadditsin yang mendapat gelar
ini antara lain Ibnu Dinar (w. 162 H), Al-Laits (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H)
dan Imam Syafi’i (w. 204 H).
2.1.9 Sunnah
Sunnah
digunakan unuk perbuatan (‘amal) dari nabi Muhammad SAW.[12]
2.1.10 Hujjah
Secara kebahasaan,
hujjah berarti al-burhan yang berarti “alasan”. Dalam terminology fikih islam,
hujjah berarti “alasan yang harus dikemukakan dalam rangka menetapkan atau
mempertahankan pandangan yang menetapkan atau mempertahankan pandangan yang
diajukan”. Hujah juga disebut dalil, atau dasar penetapan hukum.
Dalam perdebatan ulama
untuk menetapkan hukum islam, jika ada yang mengajukan pendapat tanpa landasan
hukum, maka fatwa hukum yang dihasilkan dituduh tahakkum (menentukan
hukum sendiri tanpa dalil) atau tasyri’ bi al-hawa (menetapkan
hukum berdasarkan hawa nafsu atau secara subjektif). Oleh sebab itu, dalam
kitab fikih disebutkan bahwa setiap pendapat yang dikemukakan senantiasa harus
dibarengi dengan hujah.
Hujjah bisa berupa
ayat Al-Quran, hadis Nabi SAW, *ijmak,kias,dan sebagainya. Biasanya, dalam
mengemukakan hujah seorang mujtahid tidak cukup hanya menggunakan salah satu
dalil, misalnya ayat Al-Quran saja, tetapi juga menyertakan hadis Nabi Muhammad
SAW, ijmak (jika ada ijmak dalam masalah tersebut), kias, dan nalar akal
tersebut sering kali hanya bersifat sebagai hujah pendukung bagi ayat Al-Quran
dan hadis Nabi Muhammad SAW yang dikemukakan.
Sebagai contoh, untuk
pendapat bahwa minum *khamar (minuman keras) adalah haram, hujah yang
dikemukakan adalah ayat 90 surah al-maidah, di tambah dengan hadis Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan bahwa setiap yang memabukkan itu adalah khamar dan
setiap yang memabukkan itu adalah haram (HR. Muslim dari Ibnu Umar). Kemudian
hujah ini didukung dengan nalar akal bahwa khamar itu dapat mengacau balaukan
atau merusak pikiran orang yang meminumnya, yang dapat mengakibatkan
kepribadiannya jatuh. Ayat Al-Quran dan hadis tersebut kemudian diberi tafsiran
dan dijelaskan dengan memakai kaidah bahasa dan usul fikih, sehingga
kesimpulannya menunjuk kepada haramnya minum khamar.
Al-Quran dan sunah sebagai sumber hukum islam
harus senantiasa dipegang seseorang yang mengemukakan pendapatnya . artinya,
hujah yang dikemukakan untuk mendukungnya atau menetapkan suatu hukum dalam
kias, dan metode penetapan hukum islam lainnya yang dianut berbagai mazhab
tidak dapat berdiri sendiri tanpa didasarkan pada kedua sumber hukum islam
tersebut.
Hujah atau dalil yang disepakati ulama dalam menetapkan hukum
adalah
Al-Quran,sunah,ijmak, dan kias.[13]
2.2. Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Ulumul
Hadits mempunyai beberapa cabang yaitu :
2.2.1 Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu
rijal al-hadits :
علم يعرف به رواة الحديث من حيث انهم رواة للحديث
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits
dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits”..
Ilmu ini sangat penting kedudukannya
dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana diketahui, bahwa obyek
kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal
hadits ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadits dalam Islam dan
mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[14]
2.2.2 Ilmu
Asbab Wurud al-Hadits
Kata
asbab wurud al-hadits atau disebut juga dengan asbab ashudur al-hadits, secara
bahasa artinya ialah sebab-sebab adanya hadits itu. Bila dipisahkan kata asbab
adalah :
كل شئ يتوصل به الى غيته
“Segala
sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.”
Ada
juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa
berarti sampai, muncul dan mengalir, seperti kata :
ألماء الدى يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir”.
Menurut H.A.Djalil Afif,
ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah :
علم يعرف به أسباب ورود الحديث و مناسبته
“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan
sebab-sebab atau latar belakang di wurudkannya hadits dan hal-hal yang berkaitan
dengannya”[15]
2.2.3
Ilmu Ma’ani
Kata
(معا نى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti, atau
makna. Para ahli ilmu ma’ani mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui
ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai
gambaran dari pikiran.
Sedangkan
menurut istilah, ilmu ma’ani adalah ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh
bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطا بق مقتضى الحا ل
Ilmu
ma’ani mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab
dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa
menyampaikan gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan kondisi dan
situasinya. lmu ma’ani pertama kali
dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.
Objek
kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat bahasa arab. Ditemukannya ilmu ini
bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an, hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan-kefasihan bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan mengetahui
ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan
kondisinya, menghetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat
membedakan antara kalimat yang dan yang baik. Dan objek kajian
ilmu ma’ani sama dengan ilmu nahwu.
Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan
pula dalam ilmu ma’ani.[16]
2.2.4
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu
mukhtalif al-hadits adalah
العلم
الَّذي يبحث فى الأَ حا ديث الّتي ظا هرها متعا رضها آويوفق بينها كما يبحث فى
الآَ حا ديث التى يشكل فهمها آوْتصورها فيد فع اشكا لها ويوضح حقيقَتها
Artinya:
Bertentangan
atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan
antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami
kandunganya dengan menghilangkan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan
mengetahui ilmu mukhtalif al hadits,maka hadits-hadits yang
tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentangan itu, antara
lain dengan membatasi yang muthlaq dan meng-taqyids yang am atau yang umum.[17]
2.2.5
Ilmu al jarh wa at ta’dil
Kalimat
‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri
dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan
bentuk mashdar, dari kata جرج
– يجرح , yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang
lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[18]
Menurut Istilah,al- Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي
يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه
سقوط روايته اوضعفها ورد ها
يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه
سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakkan
suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilanya atau merusak kekuatan
hafalan dan ketelitianya serta apa-apa yang dapat menggugur kan riwayatnya dan
menyebabkan riwatnya ditolak.[19]
2.2.6 Ilmu
Fannil Mubhamat
علم
يعرف به المبهم الذى وقع فى المتن او السند
Ilmu untuk mengetahui nama
orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau sanad.
untuk mengetahui orang-orang
yang tidak disebutkan namanya secara jelas baik dalam matan maupun sanad. Kitab: al-Isyarat ila
Bayani Asma al-Mubhamat, Hidayatu al-Sari Muqaddamatu Fath-Al Baarri.
2.2.7 Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
علم
يبحث فيه عن اسباب الخفية الغامضة من حيث أنها تقدح فى صحة الحديث كوصل منقطع ورفع
موقوف وإدخال حديث فى حديث وما شابه ذلك
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang
dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttashil terhadap
hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukkan hadits
ke dalam hadits lain.
2.2.8 Ilmu
Gharib Al-Hadits
علم
يعرف به معنى ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ العربية عن أذهان الذين بعد
عهدهم بالعربية الخالصة
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat
dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh
umum dan juga untuk mengetahui arti dari kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang
sukar dipahami sehingga orang tidak menduga-duga dalam memahami redaksi hadits.
2.2.9 Ilmu Nasikh Wa Al-Maansukh
العلم
الذى يبحث عن الأحاديث المتعارضة التى لا يمكن التوفيق بينها من حيث الحكم على
بعضها بأنه ناسخ وعلى بعضها الآخر بأنه منسوخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما ثبت
تأخره كان ناسخا
Ilmu yang membahas hadit-hadits yang saling
bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan dengan cara dengan cara
menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh.
Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang
kemudian sebagai nasikh.
2.2.10 Ilmu
Talfiq Al-Hadits
علم
يبحث فيه عن التوفيق بين الأحاديث المتناقضة ظاهرا
Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadits-hadits yang
berlawanan lahirnya
2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Selama dua puluh tiga tahun
Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada
umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.[20]
Perkembangan
ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri.
Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini
masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi
pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya
pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya
persaksian orang adil dan sebagainya.
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Al-Thalaq [65] : 2)
Ayat
di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa,
meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh
orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum
diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang
terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak
jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat
hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak
tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu
Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya
ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya kelompok yang
memisahkan diri di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, khawarij dan Jama’ah, dan
pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan
dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga
kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini,
terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad
menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini
telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama
yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif
al-Hadits, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif
al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis
al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian
pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’.
Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu
hadits pada abad III , maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai
awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu
hadits secara lengkap dan sempurna.[21]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.) Ulumul Hadits atau ilmu
hadits adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang pengutipan
sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan,
atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggung jawabkan
2.) Hadist selalu disandingkan pada Nabi
Muhammad Saw, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat ataupun pemikiranya.
3.) Ulumul Hadist atau ilmu hadits memiliki
cabang diantaranya :
Ø Ilmu Rijal
Al-Hadits
Ø
Ilmu
Asbab Wurud al-Hadits
Ø
Ilmu
Ma’ani
Ø
Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits
Ø
Ilmu
al jarh wa at ta’dil
4.) Pada awal perkembangan ilmu hadits, Hadits
masih sebatas prinsip-prinsip saja belum sebagai suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, yang merupakan tahap awal perkembangan bagi pertumbuhan ilmu
hadits.
5.) Tidak semua berita yang
datang bisa kita terima secara langsung, Periwayat Hadits haruslah orang-orang
yang dapat dipercaya agar tidak menyebabkan perpecahan antar umat islam itu
sendiri.
6.) Para ulama membuat
teori-teori dalam periwayatan yaitu harus menyertakan sanad didalamnya dan pada
Abad ke III adalah awal kelahiran Ilmu Hadits dikarenakan banyak sekali ulama
yang menulis persoalan tentang Ulumul Hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Sahrani, Sohari.
2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu
Hadits. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Syaik Al-Qaththan, Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka
Al Kautsar.
Nurbaya, Yayan dan Zenuddi, Mamat. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung:
PT Refika Aditama.
Shalih, syaikh Bin Muhammad Al Utsman. 2005. Mushthalah Al Hadits.
Yogyakarta: Media Hidayah.
Warsito, Lc. 2001. Pengantar
Ilmu Hadits Upaya Memahami Sunnah. Bogor:
LPD Al-Huda
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadist. Bandung
: CV Pustaka Setia.
Rahman. 1974. ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif :
PT.Alma'arif.
.
[2] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH AL HADITS, Yogyakarta, halaman 15
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS,
2005, Jakarta, halaman 22
[4] arsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA
MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, hlm 10
[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005,
Jakarta, hlm 22
[8] Rahman.ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif.1974.hlm.27
[9] M. M
Azami, Memahami Ilmu Hadis(
Litera Antar Nusa, 1992 ),hlm 10
[10] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis, hlm. 106
[11] Ath-Thahhân, TaysîrMusthalâhal-Hadîts, hlm. 17
[12] Arsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MMAHAMI SUNNAH, 2001,
Bogor, hlm 10
[13] Baltajiy, Muhammad. Manahij at-Tasyri al-islami fi
al-Qarn as Sani al-Hijri. Riyadh
: Univ. Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah, 1997,hlm 10
[14] Sohari sahrani, Ulumul
hadits,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.76
[16] Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan. Pengantar Ilmu Balaghah. (Bandung: PT Refika Aditama. 2007).
hlm. 73
[19] Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260.
46-47
Langganan:
Postingan (Atom)