Selasa, 15 Desember 2015

Kumpulan Makalah Power Point Ulumul Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Pada masa awal mula Islam dikenal, banyak umat Islam yang belum mengenal keberadaan Ulumul Hadits atau yang biasa yang biasa kita sebut dengan ilmu hadits. Sehingga pandangan kita terhadap hadits tidak terlalu mendalam seperti zaman-zaman berikutnya. Lalu banyak hadits-hadits palsu bermunculan dan pada akhirnya kepekaan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu hadits mulai meningkat.
            Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, hadits nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian islam.
Seperti yang kita ketahui ada beberapa macam hadits yang ada menurut keberadaanya atau biasa kita sebut dengan kualitas dari hadits itu sendiri yang sesuai dengan fungsinya dalam menenetapkan atau penetapan syariat Islam. Seperti Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dha’if. Setiap macam hadits tersebut memiliki perbedaan persyaratan dan lain lain.
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian Ulumul hadits atau Ilmu hadits?
1.2.2 Apa cabang-cabang Ilmu hadits?
1.2.3 Bagaimana sejarah perkembangan ulumul hadits?


1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.3.1   Menjelaskan pengertian Ulumul Hadits atau Ilmu Hadits.
1.3.2  Menguraikan dan menjelaskan macam-macam cabang dari Ulumul     Hadits.
1.3.3   Mendiskripsikan sejarah perkembangan Ulumul Hadits.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu hadits atau Ulumul hadits
Ilmu hadits adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang pengutipan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan[1].
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat [2].
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian[3].
Kata “al hadits” dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata “as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk perbuatan (‘amal) dari Nabi SAW saja [4].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi (peperangan Nabi –Edt, dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusu berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat [5]
2.1.2    Pengertian Sanad
            Sanad dari segi bahasa berarti مَاارتفع من الارض ,yaitu bagian bumi yang menonjol, sesuatu yang berada di hadapan Anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalahأ سنا د. Segala sesuatu yang anda sandarkan kepada yang lain disebutمسند. Dikatakan أ سند فى ا لخبل,maknanya `Sesorang mendaki gunung`. Dikatakan pula  ن سند فلا , maknanya `Seseorang menjadi tumpuan`.[6]
2.1.3    Matan Hadits
            Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, pungung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadist adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad.
Yang dimaksud dengan Matnu`l Hadist ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di cover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah S.A.W. sahahabat ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Misalnya perkataan sahabat Anas bin Malik r.a.:
 “Kami bersembahyang bersama-sama Rosulullah S.A.W. pada waktu udara sangat panas. Apabila salah seorang dari kami tak sanggup menekankan dahinya diatas tanah, maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud diatasnya.”
Perkataan Sahabat yang menjelaskan perbuatan salahseorang sahabat yang tidak disanggah Nabi كنا- فسجد علي disebut Matan hadits.[7]
2.1.4    Isnad, Musnid, Musnad

Isnad menurut bahasa, menyandarkan. Menurut istilah ialah menerangkan sanad Hadis (jalan menerima hadis). Sedangkan orang yang menerangkan hadis dengan menyebut sanad-nya, dinamai musnid. Dan hadis yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada Nabi S.A.W. dinamai musnad.[8]
2.1.5    Pengertian Khabar dan Atsar
 Atsar segala yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabiin. Hanya saja para fuqaha Khurasan menyebut hadis mauquf  adalah atsar, marfu’ adalah khabar.
Untuk lebih jelasnya Manna’ Qattan menjelaskan bahwa khabar secara etimologi berarti cerita, sedangkan secara terminologi ada tiga pendapat. Pertama. khabar sinonim hadis maknanya sama dengan hadis. Kedua. Khabar berbeda dengan hadis, hadis adalah datang dari Nabi, sedangkan khabar berasal dari sahabat dan Tabiin. Ketiga. Khabar itu lebih luas daripada hadis.
Atsar secara etimologi berarti sesuatu yang tersisa, sedangkan secara terminologi mempunyai dua pendapat. Pertama. Atsar sinonim dengan hadis. Kedua. berbeda dengan arti hadis, atsar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Saw, sahabat dan Tabiin.
2.1.6    Pengertian Hadits 
            Menurut M. M Azami kata hadis secara literal memiliki beberapa makna, antara lain, communication, story, conversation : religious or secular, historical or recent.  Dalam al-Qur’an kata hadis digunakan sebanyak 23 kali dengan aneka ragam kata.  Sedangkan menurut Manna’ Qattan arti hadis secara etimologis berarti al-jadid  (baru).
 الحديث فى اللغة : الجديد. وا لحد يث كذلك : ما يتحدث به وينقل . والجمع : أحاديث
(Hadis menurut bahasa berarti baru. Makna hadis juga berarti sesuatu yang dipakai berbicara dan yang diriwayatkan. Kata hadis jama’nya adalah ahadis.) 
Hadis menurut para ahli hadis (muhaddisin) secara terminologis makna hadis adalah.
ما أثر عن النبى  من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة . سوأ أكان قبل البعثة أو بعدها
(Segala yang berasal dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat penciptaan manusia atau etika atau sirah, baik sebelum diutus maupun setelah diutus).[9]
2.1.7    Pengertian Hafidz
            Menurut banyak pakar hadîts, al-hâfidz artinya sama dengan muhaddits. Ada yang berpendapat bahwa al-hâfidz martabatnya lebih tinggi dari al-Muhaddits, karena ia lebih banyak mengetahui dari pada ketidak tahuannnya terhadap setiap tingkatan (thabaqât) para perawi Hadits. 
            Menurut sebagian pendapat, al-hâfidz harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadîts.[10] Muadditsin yang mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Ibnu Hajar Al-Asgalani, dan lain-lain. 
2.1.8    Hakim
            Menurut sebagian ahli ilmu hadîts, al-hâkim berarti orang yang pengetahuannya mencakup seluruh hadîts, hanya sedikit saja yang tidak diketahuinya[11].
 Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain Ibnu Dinar (w. 162 H), Al-Laits (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H).
2.1.9 Sunnah
            Sunnah digunakan unuk perbuatan (‘amal) dari nabi Muhammad SAW.[12]
2.1.10  Hujjah
Secara kebahasaan, hujjah berarti al-burhan yang berarti “alasan”. Dalam terminology fikih islam, hujjah berarti “alasan yang harus dikemukakan dalam rangka menetapkan atau mempertahankan pandangan yang menetapkan atau mempertahankan pandangan yang diajukan”. Hujah juga disebut dalil, atau dasar penetapan hukum.
Dalam perdebatan ulama untuk menetapkan hukum islam, jika ada yang mengajukan pendapat tanpa landasan hukum, maka fatwa hukum yang dihasilkan dituduh tahakkum (menentukan hukum sendiri tanpa dalil) atau tasyri’ bi al-hawa (menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu atau secara subjektif). Oleh sebab itu, dalam kitab fikih disebutkan bahwa setiap pendapat yang dikemukakan senantiasa harus dibarengi dengan hujah.
Hujjah bisa berupa ayat Al-Quran, hadis Nabi SAW, *ijmak,kias,dan sebagainya. Biasanya, dalam mengemukakan hujah seorang mujtahid tidak cukup hanya menggunakan salah satu dalil, misalnya ayat Al-Quran saja, tetapi juga menyertakan hadis Nabi Muhammad SAW, ijmak (jika ada ijmak dalam masalah tersebut), kias, dan nalar akal tersebut sering kali hanya bersifat sebagai hujah pendukung bagi ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang dikemukakan.
Sebagai contoh, untuk pendapat bahwa minum *khamar (minuman keras) adalah haram, hujah yang dikemukakan adalah ayat 90 surah al-maidah, di tambah dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa setiap yang memabukkan itu adalah khamar dan setiap yang memabukkan itu adalah haram (HR. Muslim dari Ibnu Umar). Kemudian hujah ini didukung dengan nalar akal bahwa khamar itu dapat mengacau balaukan atau merusak pikiran orang yang meminumnya, yang dapat mengakibatkan kepribadiannya jatuh. Ayat Al-Quran dan hadis tersebut kemudian diberi tafsiran dan dijelaskan dengan memakai kaidah bahasa dan usul fikih, sehingga kesimpulannya menunjuk kepada haramnya minum khamar.
Al-Quran dan sunah sebagai sumber hukum islam harus senantiasa dipegang seseorang yang mengemukakan pendapatnya . artinya, hujah yang dikemukakan untuk mendukungnya atau menetapkan suatu hukum dalam kias, dan metode penetapan hukum islam lainnya yang dianut berbagai mazhab tidak dapat berdiri sendiri tanpa didasarkan pada kedua sumber hukum islam tersebut.
Hujah atau dalil yang disepakati ulama dalam menetapkan hukum adalah
Al-Quran,sunah,ijmak, dan kias.[13]
2.2.  Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Ulumul Hadits mempunyai beberapa cabang yaitu :
2.2.1 Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu rijal al-hadits : 
علم يعرف به رواة الحديث من حيث انهم رواة للحديث
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits”..
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana diketahui, bahwa obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal hadits ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[14]
2.2.2 Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
            Kata asbab wurud al-hadits atau disebut juga dengan asbab ashudur al-hadits, secara bahasa artinya ialah sebab-sebab adanya hadits itu. Bila dipisahkan kata asbab adalah :
كل شئ يتوصل به الى غيته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.”
            Ada juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul dan mengalir, seperti kata :
    ألماء الدى يورد
 “Air yang memancar atau air yang mengalir”.
Menurut H.A.Djalil Afif, ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah :
علم يعرف به أسباب ورود الحديث و مناسبته
“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di wurudkannya hadits dan hal-hal yang berkaitan dengannya”[15]

2.2.3 Ilmu Ma’ani
             Kata (معا نى  ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal  kata tersebut berarti maksud, arti, atau makna. Para ahli ilmu ma’ani mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
            Sedangkan menurut istilah, ilmu ma’ani adalah ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطا بق مقتضى الحا ل
            Ilmu ma’ani mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan kondisi dan situasinya. lmu ma’ani pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat bahasa arab. Ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an, hadits dan rahasia-rahasia kefasihan-kefasihan bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan mengetahui ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisinya, menghetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat membedakan antara kalimat yang  dan yang baik. Dan objek kajian
ilmu ma’ani sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani.[16]
2.2.4 Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits adalah
 العلم الَّذي يبحث فى الأَ حا ديث الّتي ظا هرها متعا رضها آويوفق بينها كما يبحث فى الآَ حا ديث التى يشكل فهمها آوْتصورها فيد فع اشكا لها ويوضح حقيقَتها
Artinya:
Bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandunganya dengan menghilangkan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan mengetahui  ilmu mukhtalif al hadits,maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentangan itu, antara lain dengan membatasi yang muthlaq dan meng-taqyids yang am atau yang umum.[17] 
2.2.5 Ilmu al jarh wa at ta’dil
Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata جرج يجرح , yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[18]
Menurut Istilah,al- Jarh ialah:
هو ظهور وصف  في الراوي
يسلم عد ا لته  ا ويخل  حفظه  وضبطه  مما يتر تب عليه
سقوط  روايته  اوضعفها  ورد ها
“Menampakkan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilanya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitianya serta apa-apa yang dapat menggugur kan riwayatnya dan menyebabkan riwatnya ditolak.[19]

2.2.6 Ilmu Fannil Mubhamat
علم يعرف به المبهم الذى وقع فى المتن او السند
Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau sanad.
untuk mengetahui orang-orang yang tidak disebutkan namanya secara jelas baik dalam matan maupun sanad. Kitab: al-Isyarat ila Bayani Asma al-Mubhamat, Hidayatu al-Sari Muqaddamatu Fath-Al Baarri.
2.2.7 Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
علم يبحث فيه عن اسباب الخفية الغامضة من حيث أنها تقدح فى صحة الحديث كوصل منقطع ورفع موقوف وإدخال حديث فى حديث وما شابه ذلك
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttashil terhadap hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits lain.
2.2.8  Ilmu Gharib Al-Hadits
علم يعرف به معنى ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ العربية عن أذهان الذين بعد عهدهم بالعربية الخالصة
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum dan juga untuk mengetahui arti dari kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami sehingga orang tidak menduga-duga dalam memahami redaksi hadits.
2.2.9 Ilmu Nasikh Wa Al-Maansukh
العلم الذى يبحث عن الأحاديث المتعارضة التى لا يمكن التوفيق بينها من حيث الحكم على بعضها بأنه ناسخ وعلى بعضها الآخر بأنه منسوخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما ثبت تأخره كان ناسخا
Ilmu yang membahas hadit-hadits yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan dengan cara dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.
2.2.10 Ilmu Talfiq Al-Hadits
علم يبحث فيه عن التوفيق بين الأحاديث المتناقضة ظاهرا
Ilmu yang membahas  cara mengumpulkan hadits-hadits yang berlawanan lahirnya

2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.[20]
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya.
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Al-Thalaq [65] : 2)
      Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
      Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya kelompok yang memisahkan diri di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, khawarij dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
           Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III , maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.[21]

     












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.) Ulumul Hadits atau ilmu hadits adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang pengutipan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggung jawabkan
2.) Hadist selalu disandingkan pada Nabi Muhammad Saw, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat ataupun pemikiranya.
3.)  Ulumul Hadist atau ilmu hadits memiliki cabang diantaranya :
Ø  Ilmu Rijal Al-Hadits
Ø  Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Ø  Ilmu Ma’ani
Ø  Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ø  Ilmu al jarh wa at ta’dil
4.)  Pada awal perkembangan ilmu hadits, Hadits masih sebatas prinsip-prinsip saja belum sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, yang merupakan tahap awal perkembangan bagi pertumbuhan ilmu hadits.
5.) Tidak semua berita yang datang bisa kita terima secara langsung, Periwayat Hadits haruslah orang-orang yang dapat dipercaya agar tidak menyebabkan perpecahan antar umat islam itu sendiri.
6.) Para ulama membuat teori-teori dalam periwayatan yaitu harus menyertakan sanad didalamnya dan pada Abad ke III adalah awal kelahiran Ilmu Hadits dikarenakan banyak sekali ulama yang menulis persoalan tentang Ulumul Hadits.
















DAFTAR PUSTAKA
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Syaik Al-Qaththan, Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka
Al Kautsar.
Nurbaya, Yayan dan Zenuddi, Mamat. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung:
PT Refika Aditama.
Shalih, syaikh Bin Muhammad Al Utsman. 2005. Mushthalah Al Hadits.
Yogyakarta: Media Hidayah.
Warsito, Lc. 2001. Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami Sunnah. Bogor:
LPD Al-Huda
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadist. Bandung : CV Pustaka Setia.
Rahman. 1974. ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif : PT.Alma'arif.












.



[1] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
[2] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH AL HADITS, Yogyakarta, halaman 15
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
[4] arsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, hlm 10
[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, hlm 22
[6] Solahudin,M.Agus&Agus Suryadi.Ulumul Hadist.Bandung.Pustaka Setia.2011.hlm.89.

[7] Rahman.ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif.1974.hlm.23
[8] Rahman.ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif.1974.hlm.27
[9]   M. M Azami, Memahami Ilmu Hadis( Litera Antar Nusa, 1992 ),hlm 10
[10]  Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis, hlm. 106
[11]  Ath-Thahhân, TaysîrMusthalâhal-Hadîts, hlm. 17
[12] Arsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, hlm 10
[13] Baltajiy, Muhammad. Manahij at-Tasyri al-islami fi al-Qarn as Sani al-Hijri. Riyadh : Univ. Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah, 1997,hlm 10
[14]  Sohari sahrani, Ulumul hadits,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.76
[15] Sohari sahrani, Ulumul hadits, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.78-79
[16]  Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan. Pengantar Ilmu Balaghah. (Bandung: PT Refika Aditama. 2007). hlm. 73
[17] Sohari sahrani, Ulumul hadits,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.79
[18] Solahudin,agus.ulumul hadist.bandung:cv.pustaka setia.2009.hal.157
[19] Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260.
[20] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, hlm 45
[21] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, hlm   
    46-47