AGAMA ORANG BIASA
Tugas resensi ini dibuat untuk memenuhi matakuliah
“Metodologi Studi Islam”
Dosen Pengampu : M. Miftahul Huda, M. Pd.I
Disusun Oleh:
Ibnu Mohamad Hadirin (931352715)
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KEDIRI
2015
1.
COVER BUKU
2.
RESENSI BUKU
A. IDENTITAS BUKU
Judul : Agama Orang Biasa
Pengarang : Umaruddin Masdar
Pengantar : Ahamad Tohari
Penerbit
: Yayasan Kajian dan Layanan
Informasi untuk Kedaulatan Rakyat
(KLIK).
Tahun terbit : 2001
Tebal halaman : 199 halaman
B. PENULIS
Umaruddin Masdar, adalah
salah seorang pendiri Yayasan Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan
Rakyat (KLIK). Lahir di Kebumen 6 April 1972. Hidup di dunia santri dan
menyelesaikan sekolah tingkat menengah di madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah
(MASS) Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, dan program S-1 pada
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Perbandingan Mazhab.
Semasa kuliah pernah menjadi wartawan Bali Post di Denpasar Bali.
Buku yang ditulis antara lain Membaca
Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Denokrasi (Pustaka Pelajar, 1999), Mengasah
Naluri Publik, Memahami Nalar Politik (LKiS-The Asia Foundation, 1999),
bersama Eman Hermawan mrnulis buku Demokrasi Untuk Pemula (KLIK, 2000) dan
menjadi anggota tim penyusun buku Damailah Negeriku, Bangkitlah Bangsaku :
Sistem Kekaderan Garda Bangsa (DKN GARDA BANGSA, 2000). Menjadi pembicara
dalam berbagai seminar dan fasilitator dalam berbagai pelatihan pendidikan
politik. Aktif menulis di Harian Bernas, Jawa Post, Kedaulatan Rakyat
dan Kompas.
C.
PENDAHULUAN
Sebelum saya tuang kegelisahan, pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat
dari buku Agama Orang Biasa, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama,
kita harus membuang jauh-jauh dalam pikiran kita, bahkan mencuci otak
sebersih-bersihnya bahwa agama yang kita anut sejak kita lahir sampai sekarang
adalah agama yang paling benar di antara agama-agama yang lain. Mengapa? Karena
kita akan membicarakan tentang pemahaman agama orang biasa, bukan pemahaman
agama orang yang egois, frontal dan elitis. Kedua, ini hanyalah bagian dari
upaya untuk menempatkan agama pada tempatnya, sebab selama ini oleh kebanyakan
orang agama sudah di reduksi menjadi hal yang menakutkan, menyeramkan dan
bahkan menjadi sumber konflik antar manusiaSebelum saya tuang kegelisahan,
pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat dari buku Agama Orang Biasa, ada
beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama, kita harus membuang jauh-jauh
dalam pikiran kita, bahkan mencuci otak sebersih-bersihnya bahwa agama yang
kita anut sejak kita lahir sampai sekarang adalah agama yang paling benar di
antara agama-agama yang lain.
D.
IHTISAR BUKU
Agama orang biasa
adalah agama orang-orang kebanyakan yang memahami agama tidak hanya sebatas
pada masalah-masalah normatif-ritual-simbolik dari agama, seperti puasa,
shalat, jilbab, haji, dsb., tetapi lebih substantif, yaitu agama sebagai
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mereka sepenuhnya Iman
kepada-Nya. Orang biasa adalah mereka yang realistik dalam beragama, menganggap
agama sebagai sebuah keyakinan dan keimanan yang hidup dalam hati dan menjadi
inspirasi teologis yang mampu mentransformasikan keyakinan transendentalnya
dalam manifestasi aktual berupa perbuatan baik (amal saleh).
Perlu di perhatikan,
menariknya buku ini karena tidak menggunakan metodologi seperti karya-karya
ilmiah yang lain, karena memang buku ini bukan karya ilmiah. Buku ini murni
hasil dilektika penulis (Umaruddin Masdar) dengan realitas sosial kehidupan
yang sesungguhnya. Singkat kata, buku ini tanpa metodologi. “Tanpa metodologi”
adalah sebuah preferensi yang lahir dari kesadaran bahwa pendekatan-pendekatan
mainstream dalam pemikiran Islam selama ini, seperti fiqih klasik di kalangan
kiai atau pendekatan rasionalisasi teks suci yang biasa di pakai oleh
intlektual Islam modernis dan liberal, pada kenyataanya tidak mampu
menerjemahkan dan menjelaskan perilaku dan fakta keberagamaan orang-orang
biasa. Pendekatan itu selalu terjebak dalam klaim kebenaran dan bias kelas.
Karena dibalik pendekatan itu ada pengandaian dan bawah sadar yang selalu di
hidupkan bahwa hanyalah kelas terdidik yang mampu memahami secara benar dan
utuh (misalnya kaum intlektual, kia, ustadz, dai, dsb) dan kelas lain yang
jumlahnya sangat besar memahami agama secara sempit, dan tanpa ilmu.
Akibatnya terjadi
kesenjangan kelas dalam kehidupan beragama, efeknya akan lahir nalar imprealisme
dalam pemikiran agama. Suatu nalar yan dibawa oleh sekelompok orang yang merasa
dirinya lebih baik, superior, benar, mulia dan menjadi umat terpilih, dan
kerena itu mereka mempunyai kewajiban untuk berdakwah dan menyampaikan
kebenaran dan memaksa orang lain untuk mengikutinya. Padahal tidak ada paksaan
dalam agama, karena agama adalah urusan keyakinan dalam hati. Adalah hak semua
penuh seorang manusia untuk beragama dan juga haknya untuk beragama sesuai
dengan kepercayaan dan pemahmannya tentang agama yang dianutnya. Tidak ada
orang, institusi agama (Depag, kiai, ustadz, dsb) atau negara yang bisa memaksa
seseorang untuk beragama atau menjalankan ajaran tertentu dalam agama. Agama
sepenuhnya merupakan hak dan otonomi individu. Tugas kiai atau ustadz adalah
menyebarkan agam atau membimbing umat, tetapii tidak ada paksaan atau kewajiban
bagi umat untuk mengikuti kiai atau ustadz. Pada akhirnya, semuanya
dikembalikan kepada otonomi dan hak individu tadi: seseorang bebas memilih
agama dan bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
Ada dua model
keberagamaan yang oleh seseorang atau sekelompok orang diekspresikan dalam
kehidupan sehari-hari. Model pertama keberagamaan elitis dan kedua keberagaam
populis.
Keberagamaan elitis adalah cara melaksanakan ajaran agama dengan menomorsatukan aspek eksoterik, formal, hukum atau simbol (yang semuanya diatur dalam syariah agama) dari agama yang di anut. Paradigma yang digunakan adalah agama untuk agama. Agama adalah tujuan dari kehidupan dan kerena itu ia harus mencakup semua aspek kehidupan manusia. Contoh, sering kita mendengan bahwa ungkapan atau istilah bahwa muslimah yang taat adalah ia yang memakai jilbab. Pendapat ini tidak salah karena ini murni hasil tafsir agama. Namun apakah terletak disitu ketaatan agama? Hal yang simbolis belum tentu merepresentatifkan sebuah ketaatan.
Keberagamaan elitis adalah cara melaksanakan ajaran agama dengan menomorsatukan aspek eksoterik, formal, hukum atau simbol (yang semuanya diatur dalam syariah agama) dari agama yang di anut. Paradigma yang digunakan adalah agama untuk agama. Agama adalah tujuan dari kehidupan dan kerena itu ia harus mencakup semua aspek kehidupan manusia. Contoh, sering kita mendengan bahwa ungkapan atau istilah bahwa muslimah yang taat adalah ia yang memakai jilbab. Pendapat ini tidak salah karena ini murni hasil tafsir agama. Namun apakah terletak disitu ketaatan agama? Hal yang simbolis belum tentu merepresentatifkan sebuah ketaatan.
Keberagamaan populis
adalah suatu model keberagamaan yang dianut mayoritas umat Islam sendiri.
Keberagamaan populis ditandai dengan kecendrungan untuk mengedepankan substansi
dari ajaran agama, dimensi esoterik dari agama itu sendiri. Paradigma yang
digunakan adalah agama untuk manusia (kemanusiaan), dan kerena untuk manusia,
maka agama bukan tujuan tetapi cara untuk mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan
hidup dan keridaan Ilahi. Keberagamaan populis adalah keberagaan orang biasa.
Agama untuk manusia mempunyai dua cakupan. Pertama, agama adalah untuk diri sendiri. Kedua, agama untuk kemanusiaan. Dua cakupan ini mengandung arti bahwa agama bukan untuk agama itu sendiri! Mengapa? Karena sesungguhnya keberagamaan itu merupakan konstruksi sosial. Keberagamaan merupakan proses dialog panjang antara pemahaman seseoarang terhadap teks-teks agama sebelum akhirnya lahir suatu keyakinan dan keimanan itu tumbuh seiring dengan perkembangan manusia sebagai mahluk sosial karenanya keyakinan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dimana ia hidup.
Agama untuk manusia mempunyai dua cakupan. Pertama, agama adalah untuk diri sendiri. Kedua, agama untuk kemanusiaan. Dua cakupan ini mengandung arti bahwa agama bukan untuk agama itu sendiri! Mengapa? Karena sesungguhnya keberagamaan itu merupakan konstruksi sosial. Keberagamaan merupakan proses dialog panjang antara pemahaman seseoarang terhadap teks-teks agama sebelum akhirnya lahir suatu keyakinan dan keimanan itu tumbuh seiring dengan perkembangan manusia sebagai mahluk sosial karenanya keyakinan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dimana ia hidup.
E.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Kelebihan : Bahasa yang digunakannya mudah di pahami oleh semua kalangan
sehingga akan menarik hati setiap pembacanya. Kertas yang digunakannya cukup
bagus sehingga menarik orang untuk membacanya. Ukuran bukunya yang kecil,
memudahkan pembaca untuk dibawa kemana-mana. Buku “Agama Orang Biasa” ini
cocok untuk memenuhi kerinduan
masyarakat akan keislaman yang lebih mempertimbangkan kepentingan manusia.
Keberagaman yang sederhana, lentur dan mudah karena diamalkan berdasarkan
pemahaman relatif tiap-tiap manusia.
Kekurangan : Bahasa yang digunakan mudah di pahami namun, di dalam buku ini
terdapat banyak kesalahan dalam penulisannya. Dan cover yang digunakannya
kurang menarik.
F.
KESIMPULAN
Kesimpulannya, agama orang biasa adalah sustu ekspresi atau model
keberagaam yang lahir dari mereka yang mampu mentransformasikan iman yang
transhistoris, transenden dan supra-empiris dalam amanifestasi amal shaleh yang
bersifat historis dan empiris. Keberagamaan orang biasa adalah keberagamaan
yang tulus, arif, dan berdasarkan akal sehat. Ia tidak kaku, eksklusif,
tertutup, dan arogan. Sebaliknya ia sangat terbuka, rendah hati, inklusif,
moderat, toleran, penuh sangka baik, dan tanggung jawab dan punya komitmen
besar pada kemanusian.
Ketika kita dalam beragama seperti orang biasa,
Dampaknya: Pertama, tidak akan pernah menganggap bahwa kemajemukan bangsa,
termasuk dalam agama sebagai ancaman, tetapi mensyukurinya sebagai sunnatullah
atau keharusan sejarah yang memiliki makna positif dan produktif. Kedua, tidak
akan canggung, apalagi terusik dengan orang yang berbeda agama. Kita akan hidup
damai berdampingan dengan semua oarang dalam perbedaan agama. Ketiga, kita
tidak akan mudah terpengaruh oleh provokasi orang-orang yang cenderung
mengedepankan simbol-simbol dalam melaksanakan ajaran agama. Keempat, kita akan
selalu berusaha mencari kebenaran, dimanapun datangnya kebenaran itu, baik dari
agama sendiri (Islam) maupun agama lain. Kelima, kita akan toleran dan terbuka
dalam beragama. Keenam, kita akan menjadi pribadi yang berprinsip kuat, teguh
pendirian, selalu berpikir kritis dan bertindak berdasarkan rasio yang ditopang
oleh keyakian teologis yang mapan. Terakhir, ketika demikian maka kita masuk
dalam ketegori (pemeluk agama) orang biasa yang dapat membumikan ajaran langit
dengan bijaksana.
3.
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan resensi buku ini dalam bentuk karya tulis
dengan judul “ Agama Orag Biasa”.
Resensi
ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai alat penunjang belajar.
Dengan memahami dan membaca buku resensi ini kita akan toleran dan
terbuka dalam beragama di masyarakat.
Sungguh
kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, kami akan berbesar hati dan berlapang dada,
apabila Bapak dosen berkenan memberikan saran perbaikan untuk resensi ini ini.
Dengan harapan dapat menjadi pembelajaran buat kami. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Tidak hanya bagi penulis. Aamiin.
Kediri, 02 November 2015
Penulis
4.
BIOGRAFI PERESENSI
NAMA : Ibnu Mohamad Hadirin
TTL : Blitar, 24 September 1994
NIM : 931354915
PRODI : Syari’ah
JURUSAN : Ekonomi Syari’ah
KELAS : N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar